Toba Pos| Jakarta, 22 November 2024 – Polemik pergantian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengemuka setelah lima nama terpilih menjadi pimpinan KPK periode 2024-2029. Namun, yang mengejutkan, tidak ada satu pun di antara pimpinan terpilih yang berasal dari unsur masyarakat sipil. Kelima pimpinan KPK yang baru saja terpilih adalah Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Johanis Tanak, dan Agus Joko Pramono, dengan Setyo Budiyanto menjabat sebagai Ketua KPK.
Perubahan ini memicu keprihatinan dari berbagai kalangan, termasuk dari Obor Panjaitan, Ketua Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR). Menurut Obor, ketidakberadaan unsur sipil dalam pimpinan KPK kini menjadi bukti bahwa lembaga ini semakin didominasi oleh aparat kepolisian aktif, termasuk jenderal-jenderal polisi yang kini menduduki jabatan strategis di lembaga antikorupsi tersebut.
"Jika ini terus berlangsung, lebih baik KPK dibubarkan saja. KPK yang dulu kita kenal dengan semangat pemberantasan korupsi kini sudah berubah menjadi alat politik. Jika tidak dibubarkan, KPK harus melakukan revolusi total. Kembalikan undang-undang KPK seperti sediakala, yang memberikan kewenangan penuh dan independen tanpa campur tangan kepentingan politik," tegas Obor Panjaitan, yang selama ini aktif mengikuti perjalanan KPK.
Obor yang juga seorang jurnalis, mengungkapkan keprihatinannya karena KPK, yang pada awalnya dibentuk untuk memberantas korupsi dengan semangat independen, kini semakin kehilangan arah. Pergantian pimpinan yang didominasi oleh polisi aktif, termasuk jenderal-jenderal, dinilai tidak membawa perubahan positif bagi lembaga ini.
"Jangan sampai KPK menjadi alat untuk menyerang lawan politik seperti yang kita lihat dengan jelas selama ini. Jika KPK terus berada di bawah kendali aparat kepolisian, maka tidak ada bedanya dengan Polsek yang menangani perkara di tingkat RT/RW. Ini yang kita khawatirkan," tambah Obor.
Lebih jauh, Obor menegaskan bahwa revisi Undang-Undang KPK pada 2019 semakin memperburuk keadaan, dengan memberikan kewenangan kepada presiden untuk campur tangan dalam operasi lembaga ini. Bahkan, beberapa kebijakan baru, seperti pemberian kewenangan SP3 dalam perkara yang ditangani, semakin menunjukkan bahwa KPK tidak lagi berdiri di jalur independen dalam memberantas korupsi.
Kini, di tengah pergantian pimpinan yang didominasi oleh polisi aktif, masyarakat kembali mempertanyakan apakah KPK masih bisa menjadi lembaga yang dapat diandalkan dalam pemberantasan korupsi. Jika tidak ada reformasi total, maka eksistensi KPK akan dipertanyakan, bahkan mungkin menjadi semata alat untuk kepentingan politik tertentu.
"Revolusi total KPK adalah pilihan yang harus diambil untuk memastikan lembaga ini kembali ke jalur yang benar. Jika tidak, lebih baik kita bubarkan KPK dan tidak menghabiskan anggaran untuk sebuah lembaga yang hanya menjadi alat politik," tutup Obor Panjaitan. [*]